Featured Video

Selasa, 19 April 2011

Provokasi Madiun Korban Perdana Perang Dingin

(Dikutip dari : “Peristiwa Madiun” PKI Korban Perdana Perang Dingin, oleh: A.Suroso dan “Provokasi Madiun” oleh Sutopo)

Pada pertengahan Pebruari 1948, pemerintah Hatta mengerluarkan rencana rasionalisasi dan rekonstruksi angkatan perang sebagai berikut :
1. Menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progesif dalam kalangan militer.
2. Menempatkan sebanyak-banyaknya perwira-perwira yang dapat diterima oleh Belanda, supaya dalam perundingan mengenai militer dengan Belanda tidak mengalami kesulitan dan memudahkan pemasukan tentara federal ke dalam angkatan perang RIS.

Pertengahan Februari 1948, Kolonel AH Nasution datang dari Yogya sebagai Komandan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Kedatangan pasukan hijrah ke daerah pusat pemerintah republik, menimbulkan perobahan imbangan kekuatan antara yang pro dan kontra rasionalisasi yang direncanakan Pemerintah Hatta. Ini adalah suatu langkah dalam melaksanakan rencana bersama dengan Belanda untuk pembentukan tentara federal yang baru. Pada 4 Mei 1948 diumumkan suatu dekrit presiden mengenai rencana ini. Timbulah protes keras dari 30 komandan battalion dan 2 panglima divisi yaitu Kolonel Sungkono dari Kediri dan Kolonel Sutarto dari Solo. Panglima Besar Sudirman juga mengeluarkan surat edaran untuk menghentikan rasionalisasi ini.

Pada 10 Juni 1948, Critehley (Austria) dan Abu Boris, pengganti Frank Graham, wakil Amerika mengajukan usul, bahwa akan dibentuk suatu pemerintah federal sementara, angkatan perang harus dikurangi, bahwa republik akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Federal sementara dan lain-lain. Pada 17 Juni 1948, pemerintah Hatta mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa “Usul Australia-Amerika dianggap oleh pemerintah republik sebagai suatu hal yang baik.”

Amerika Serikat merasa kurang puas dengan program rasionelisasi dan rekonstruksi, karena dianggapnya terlalu lambat, dan dengan segera menempuh usaha yang kasar, sebagaimana yang sudah dilakukannya di Eropa, Tiongkok, Birma, India, dan lain-lain, yaitu dengan aktif mencampuri secara langsung soal dalam negeri Indonesia.

Pada tanggal 21 Juli 1948 diselenggarakanlah Konferensi Sarangan, yaitu pertemuan antara dua orang Amerika, Gerard Hopkins, penasehat urusan politik luar negeri dari Presiden Truman, dan Cohran, Wakil Amerika pada komisi jasa-jasa baik PBB dengan enam orang Indonesia: Presiden Sukarno, Moh. Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto, dan Moch. Roem.

Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama “Red Drive Proposal” (usul-usul pembasmian kaum merah), dengan biaya yang disetujui kedua belah pihak. Pemerintah Indonesia menerima bantuan uang dari state department (kementrian luar negeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 US$, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Sarikat di Bangkok. “Red Drive Proposal” dipraktekkan dengan bermacam-macam provokasi.

Pemalsuan dokumen FDR berlangsung untuk memfitnah, bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan, dan disiarkan oleh Surat Kabar Murba pada tanggal 7 April 1948. Dokumen palsu inilah yang dijadikan dasar alasan Hatta, dalam pidatonya di depan Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948, Perdana Menteri Hatta meminta kepada BP KNIP memberikan kuasa penuh kepada Presiden selama waktu tiga bulan dengan alasan: “PKI Musso telah mengadakan Coup, perampasan kekuasaan di Madiun, dan di sana mendirikan suatu pemerintahan baru sebagai permulaan untuk merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”…”Tersiar pula berita – entah benar entah tidak – bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya.”

Pada 3 Juli 1948 berlangsung terror pembunuhan terhadap Kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV Panembahan Senopati. Sutarto adalah pengikut setia dari Gerakan Demokrasi Rakyat, dan bersimpati sekali terhadap PKI.

Pada tanggal 5 Agustus 1948, Drs. Muwardi dari Barisan Banteng dan GRR mendapat biaya 3 juta ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk memancung suatu insiden militer, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal untuk bertindak.

Awal Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia bersama Suripno, 14 Agustus 1948, dalam organ FDR, “Revolusioner”, dimuat artikel Musso: “Usul-Usul tentang Front Nasional”. Dia menulis “Kelemahan Revolusi Nasional kita sejak semula sampai sekarang ini adalah tidak adanya Front Nasional.” Pada 16 Agustus 1948 dimuat tulisan Musso dalam organ “Revoulisoner” mengenai selfkritik dalam revolusi nasional, mengenai kesalahan-kesalahan prinsipil dalam revolusi, dan mengenai jaminan kemenangan revolusi. Dikemukakan bahwa wakil klas buruh Indonesia sekarang ini tidak menduduki tempat dalam permerintah. Ini akan menyebabkan pemerintah tak akan menjalankan politik revolusioner anti imperalis. Menurut Musso, kesalahan umum revolusi kita adalah sejak semula bersifat defensif. Ini tampak dalam hubungan revolusi dengan hak milik kaum kolonial.

Pada 21 Agustus 1948, Politbiro CC PKI mengajukan inisiatif untuk menyatukan PKI dengan Partai Sosialis dan PBI, menjadi satu Partai Komunis Indonesia. Pada 25 – 27 Agustus 1948 di Yogyakarta berlangsung konfrensi luar biasa PKI. Masalah pokok yang dibahas adalah laporan khusus Musso “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia”.

“Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” merupakan selfkritik pimpinan PKI atas kesalahan-kesalahan prinsipil dalam revolusi Indonesia di bidang organisasi, politik dan ideology. Antara lain : “…tahun 1935 PKI illegal didirikan di Indonesia atas inisiatif saudara Musso. Selanjutnya PKI illegal memimpin perjuangan anti fasis selama pendudukan Jepang. Kesalahan pokok dilapangan organisasi yang dibuat oleh organisasi illegal ialah, tidak dimengertinya perobahan-perobahan keadaan politik di dalam negeri sesudah proklamasi kemerdekaan. Sebenarnya pada saat itulah PKI harus melepaskan bentuknya yang illegal dan muncul di hadapan masyarakat Indonesia dengan terang-terangan…adanya tiga partai klas buruh (PKI legal, PBI, Partai Sosialis) yang semuanya dipimpin oleh PKI illegal, telah mengakibatkan ruwetnya pergerakan buruh pada umumnya. Kesalahan selanjutnya yang besar pula ialah, bahwa kabinet Amir Syarifuddin mengundurkan diri dengan suka rela dan dengan tidak ada perlawanan sama sekali. Kaum komunis pada waktu itu tidak ingat akan ajaran Lenin: “Soal pokok dari pada revolusi adalah soal kekuasaan negara”.

Dengan rencana Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia, tapi bagi Amerika Serikat, ini betul-betul merupakan tantangan terhadap pelaksanaan strateginya membendung komunisme di Asia, yaitu pelaksanaan “The Policy of Containment”. Tentu saja PKI-lah yang menjadi sasarannya untuk strategi sejagad membendung komunisme. Dengan terbentuknya kabinet Hatta tanpa ikutnya FDR, usaha Amerika untuk mencegah duduknya komunis dalam pemerintah, telah menang selangkah. Kini tinggal mencegah masuknya PKI kembali, untuk kemudian membasmi seluruhnya.

Pada 1 September 1948, pemerintah mulai dengan operasi Solo, dengan menculik Slamet Wijaya dan Pardjio, keduanya kader PKI Solo. Pada tanggal 7 September 1948, Mayor Esmara, Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Supardi juga diculik. 16 September 1948 gedung Dewan Pusat Pesindo di jalan Singosaren diserbu oleh pasukan Siliwangi dengan memakai kedok Barisan Banteng. 17 September 1948 Konferensi SBKA di gedung SOBSI, Tugu, Yogyakarta, dikepung oleh pasukan-pasukan pemerintah dan pemimpin-pemimpin SBKA ditangkap. Pada 13 September 1948 jam 12.30, Mayor Sutarto dan beberapa pengawalnya, yang hendak mengadakan perundingan, mati ditembak ketika turun dari truk. Akibatnya pertempuran di Solo menghebat antara Divisi IV Panembahan Senopati dibantu ALRI melawan pasukan Siliwangi.

Pada tanggal 17 September 1948 Politbiro CC PKI mengadakan sidang di Yogyakarta. Antara lain membicarakan soal pertempuran di Solo. Politbiro memutuskan untuk berusaha keras supaya pertempuran di Solo dilokalisasi.

Secara ringkas situsai politik di Indonesia pada paruh kedua tahun 1948 dapat digambarkan sebagai berikut. Disatu pihak: PKI dibawah pimpinan Musso, selangkah demi selangkah, dengan secara teliti dan hati-hati mempersiapkan Kongres Nasional ke V PKI bulan Oktober. Berhasilnya kongres ini berarti mengembalikan PKI pada kedudukannya sebagai pemimpin revolusi Agustus 1945 dan selangkah demi selangkah menciptakan kekusaan demokrasi rakyat sebagai fase peralihan ke sosialisme. Maka itu bagi PKI urgensinya adalah: Selamatkan Kongres !!. Dilain pihak: Klik Hatta yang kontra revolusioner, bersama-sama dan dibantu sepenuhnya oleh kaum imperalis Belanda dan Amerika Serikat. Bagi pihak ini Kongres PKI merupakan bahaya yang kongkrit. Suksesnya Kongres Nasional ke V PKI bagi pihak ini artinya adalah berbunyinya lonceng maut. Maka itu bagi mereka diatas segala-galanya adalah usaha : Gagalkan Kongres PKI !!!

Provokasi pertama terjadi di Madiun tanggal 28 Juli 1948. Pada hari itu buruh kereta api Siswosudarmo dalam perjalanan ke tempat kerjanya, ditembak mati oleh seorang anggota tentara. Penguburan jenasahnya menjadi demonstrasi raksasa yang menunjukkan kemarahan rakyat.

Baru saja situasi agak reda, terjadilah provokasi kedua. Seorang buruh kantor balai kota dianiaya oleh seorang perwira tentara. Situasi normal baru saja selesai, muncul provokasi ketiga. Pasukan Siliwangi dan Brimob secara mencolok mata mengadakan patroli di kota. Kesatuan-kesatuan Siliwangi mulai menduduki pabrik-pabrik gula. Kemudian mereka mengadakan latihan perang-perangan tanpa lebih dahulu memberi tahu penduduk dan kesatuan-kesatuan TNI setempat. Akibatnya adalah mulai timbulnya bentrokan-bentrokan kecil antara pasukan Siliwangi dan Brigade 29 TNI. Insiden tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 18 September 1948. Pada hari itu, sejak jam 01.00 sampai jam 08.00 oleh Brigade 29 TNI dilancarkan gerakan pelucutan senjata terhadap pasukan Siliwangi.

Dalam situasi yang begitu memanas, Residen Madiun (Samadikun) tidak berada di tempat. Ia sedang di Yogyakarta. Wakil Residen ternyata tidak bisa menguasai keadaan. Walikota Madiun sedang sakit, jadi non-aktif. Dalam keadaan semacam itu partai-partai yang tergabung dalam FDR dan organisasi-organisasi massa pendukungnya mendesak supaya Supardi, Wakil Walikota Madiun, bertindak untuk sementara menjadi residen, selama residen belum kembali, sehingga ketegangan yang terjadi dalam kota Madiun bisa terselesaikan dengan baik. Usul ini disetujui oleh Letkol Sumantri (Komandan TNI Sub-teritorium Madiun), Wakil Residen Sidharto, Walikota Purbosusiswo, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan, menjelaskan situasi terakhir di Madiun dan minta instruksi apa yang harus dilakukan lebih lanjut.

Pada hari itu, 18 September 1948 Musso dan rombongan sedang berada di Purwodadi, kemudian bermaksud ke Yogyakarta, langsung kembali ke Madiun. Tengah malam tanggal 18 September, Musso dan rombongan tiba di Madiun.

Yang dilakukan Musso di Madiun adalah mengkritik keras pimpinan FDR Madiun yang tidak bisa mencegah diri terkena provokasi.

Pada tanggal 19 September 1948 jam 22.00, Presiden Sukarno berpidato di depan corong radio, menjelaskan: “Kemarin pagi PKI Musso mengadakan kup di Madiun dan membentuk pemerintahan soviet di sana di bawah pimpinan Musso.” Pidato diakhiri dengan anjuran pada rakyat untuk “memilih Sukarno – Hatta atau Musso dan PKI-nya.”

Pidato ini sama artinya dengan komando untuk membasmi secara total PKI dan kekuatan-kekuatan revolusioner Indonesia lainnya. Inilah tingkat terakhir pelaksanaan “Red Drive Proposal” Sarangan mencapai titik klimaksnya.

Tanggal 19 September 1948 jam 23.30 Musso mengucapkan pidato balasannya, antara lain: “Pada tanggal 18 September 1948, rakyat daerah Madiun telah memegang kekuasaan negara dalam tangannya sendiri…” Sebagai penutup Musso meneruskan: “Rakyat Indonesia oleh Sukarno disuruh memilih Sukarno atau Musso! Rakyat pasti menjawab: ‘Musso selamanya menghamba rakyat Indonesia!”

Pada tanggal 22 September 1948, Letkol Suharto datang dari Yogya untuk menyaksikan sendiri keadaan di Madiun. Ia kembali ke Yogya membawa surat-surat dari berbagai kepala jawatan yang menyatakan bahwa keadaan di Madiun normal dan aman. Ia juga membawa pesan dari Musso supaya diajukan kepada pemerintah pusat.

Tanggal 24 September 1948, pasukan pemerintah menduduki Sarangan. 25 September 1948, Tegal. 26 September 1948 Kementrian Pertahanan mengumumkan, bahwa seluruh daerah Jawa Timur dan Madura dibawah kontrol pasukan pemerintah.

Kota Madiun diserbu dari berbagai penjuru, terutama dari barat dan timur. Sembilan hari lamanya kota ini bisa diselamatkan dari serbuan tersebut. 30 September 1948 Madiun diduduki pasukan pemerintah. Musso dan pasukannya mundur ke Dungus menuju ke Ponorogo. Pasukan FDR bergerak ke Purwantoro / Wonogiri menuju Sarangan terus ke Purwodadi, dengan tujuan mau menggempur Belanda yang berkedudukan di Semarang. 1 Desember 1948, dalam keadaan luka, Amir Syarifuddin ditangkap di desa Klambu, 20 Km dari Purwodadi. Juga Suripno dan Harjono. 7 Desember 1948, markas besar TNI mengumumkan bahwa “sudah dihancurkan seluruh pasukan FDR.”

Biarpun Presiden Sukarno memerintahkan Amir Syarifuddin dan kawan-kawan tidak boleh dihukum mati, namun atas surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto, tanggal 19 Desember malam jam 23.30 di desa Ngaliyan, kelurahan Lalung, kabupaten Karanganyar, karesidenan Surakarta, telah dieksekusi tanpa proses pengadilan terhadap 11 orang yaitu : Amir Syarifuddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Hardjono, Sukarno, Djoko Sardjono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D Mangku. Sebelum ditembak mati mereka sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale, dan berseru “Bersatulah kaum buruh dunia! Aku mati untukmu!”

Tidak hanya itu, di seluruh Indonesia, ribuan kader komunis dan pejuang revolusioner lainnya dibunuh tanpa proses pengadilan, termasuk Dr. Wiroreno, Sekretaris CS PKI Pati dengan tabah dan gagah berani menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya. (AS)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More